Sistem dan Struktur Sosial Masyarakat Pada Masa Kerajaan Hindu-Budha - Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, sistem dan struktur sosial masyarakat Indonesia mulai dikenal. Sesuai dengan stratifikasi sosial Hindu, masyarakat terbagi ke dalam kelaskelas sosial yaitu kelas Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Tetapi klasifikasi itu tidak ketat seperti di India. Kelas Brahmana merupakan kasta tertinggi. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam keagamaan. Kasta kedua adalah kelas Ksatria, yaitu kaum bangsawan, para raja beserta keluarganya.
Sistem dan Struktur Sosial Masyarakat Pada Masa Kerajaan Hindu-Budha |
Kasta ketiga adalah kelas Waisya, yang terdiri atas kaum pedagang. Sedangkan kelas yang paling rendah adalah Sudra, yang termasuk dalam kelas ini adalah para petani dan kaum buruh.
Masyarakat pada kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, selain mendapat penggolongan berdasarkan agama, dibagi juga berdasarkan golongan elite dan golongan rakyat biasa. Adapun yang termasuk golongan elite adalah raja dan keluarganya beserta aparat pemerintahannya. Golongan ini tinggal di ibu kota kerajaan. Sedangkan yang termasuk rakyat biasa adalah mereka yang berada di luar golongan elite dan biasanya mereka tersebar di daerahdaerah yang menjadi daerah kekuasaan kerajaan.
Mereka yang bukan penganut agama Hindu maupun Buddha, dan masih memeluk kepercayaan leluhur nenek moyang mereka. Pada kerajaan-kerajaan tertentu tidak dimasukkan ke dalam kelompok kasta. Kelompok seperti ini ada, terutama pada kerajaan-kerajaan Hindu tertua seperti Kerajaan Kutai dan Tarumanegara. Pada kerajaan tua ini diperkirakan agama Hindu-Buddha masih banyak dianut oleh kalangan atas, sedangkan kalangan bawah belum tersentuh banyak oleh pengaruh India (Hindu-Buddha). Sumber Fa-hsien menyebutkan bahwa di kerajaan Tarumanegara terdapat kelompok masyarakat yang beragama kotor. Ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan agama kotor yaitu agama penduduk asli masyarakat setempat yang belum dipengaruhi oleh budaya India.
Letak kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia sebagian besar berada di pedalaman. Letak kerajaan yang demikian mengakibatkan kehidupan masyarakat lebih banyak berpijak pada kehidupan agraris. Oleh sebab itu, sebagian terbesar kehidupan sosial masyarakatnya merupakan masyarakat petani. Pertanian yang dilakukan, baik pertanian dalam bentuk pembuatan sawah maupun perkebunan, terutama menanam buah dan sayur-sayuran.
Dalam beberapa prasasti atau sumber lainnya tentang kerajaan Hindu-Buddha, terdapat informasi tentang pertanian. Prasasti Tugu dari kerajaan Tarumanagara menyebutkan tentang pembuatan saluran oleh raja Tarumanegara, yang berfungsi untuk mengairi pesawahan penduduk. Pertanian menjadi salah satu sumber pendapatan negara, sehingga menjadi pusat perhatian kerajaan. Di Mataram ada pejabat khusus yang menangani masalah pertanian yaitu huluair, petugas yang mengurus masalah pengairan di desa. Selain itu, ada pula petugas di desa yang mengurusi masalah persediaan beras atau padi yaitu hulu wras.
Di Bali pada masa kekuasaan setelah Udayana, penduduknya disebut karaman dan thani. Sebutan ini berkaitan dengan sebagian besar kehidupan penduduk Bali pada masa itu dari pertanian. Begitu pula cara pertanian yang dilakukan masyarakat Sunda yaitu dengan cara ngahuma yaitu menanam padi tidak di sawah tetapi di kebun, atau lahan yang tidak digenangi air seperti halnya sawah. Di dalam naskah Siksakanda ng Karesian terdapat kata kata yang berhubungan dengan alat-alat pertanian seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Selain pertanian sawah, masyarakat Indonesia pada masa kerajaan Hindu- Buddha sudah pula bertani tanam-tanaman dan buah-buahan. Beberapa tanamtanaman yang sudah dikenal yaitu nyu atau tirisan (kelapa), pring (bambu), hano (enau), kamiri (kemiri), kapulaga (kapulaga), kusumbha (kesumba), tals (talas), bawang bang (bawang merah), pipakan (jahe), Mulaphala (umbi-umbi lainnya, wortel), hartak (kacang hijau), pucang (pinang), jeruk (jeruk), lunak atau camalagi (asam), pisang atau byu (pisang), sarwaphala (buah-bauhan), sarwawija (padi-padian), kapas (kapas), kapir (kapuk randu), damar (damar) dan lain-lain.
Selain bertani, terdapat pula kelompok masyarakat yang bekerja dalam berbagai bidang, seperti peternak, pemburu, pedagang, pelaut, penangkap ikan, pengrajin, pekerja seni dan pekerja-pekerja lainnya. Peternakan sapi diperkirakan sudah ada pada masa kerajaan Kutai dan Tarumanegara karena dalam beberapa prasasti disebutkan mengenai persembahan sapi yang jumlahnya ribuan oleh raja untuk golongan Brahmana. Salah satu prasasti Yupa menyebutkan bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan telah menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Sedangkan dalam prasasti Tugu di Kerajaan Tarumanegara menyebutkan bahwa Raja Purnawarman menghadiahkan seribu ekor sapi untuk kaum Brahmana dalam upacara selamatan pembuatan sungai Gomati. Di kerajaan-kerajaan Bali, terdapat petugas khusus yang berurusan dengan peternakan. Pejabat tersebut bernama Tuhan-jawa (ketua ternak bersayap). Jenis-jenis ternak yang dipelihara oleh rakyat yaitu itik, wdus (kambing), lembu (sapi), kbo atau karambo (kerbau), asu (anjing), jaran atau asba (kuda), hayam (ayam), manuk (ayam jantan).
Kehidupan maritim ada pada kerajaan-kerajaan yang berbentuk kerajaan maritim seperti Sriwijaya. Kerajaan ini merupakan kerajaan besar yang kehidupan perekonomiannya tergantung pada lalu lintas di lautan. Selain Sriwijaya, Kerajaan Sunda memiliki juga pelabuhan yang penting, seperti pelabuhan Sunda Kelapa. Melalui pelabuhan ini, ibu kota kerajaan yang ada di pedalaman dapat berhubungan dengan pihak luar.
Labels:
sejarah
Thanks for reading Sistem dan Struktur Sosial Masyarakat Pada Masa Kerajaan Hindu-Budha. Please share...!
0 Komentar untuk "Sistem dan Struktur Sosial Masyarakat Pada Masa Kerajaan Hindu-Budha"