KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA PADA MASA KOLONIAL - Semakin luasnya kekuasaan Kolonial di Indonesia maka untuk mempertahankan dan menjalankan struktur dan tugasnya, pemerintah Kolonial memanfaatkan potensi manusia Indonesia. Kebutuhan akan tenaga kerja manusia yang profesional, setidaknya tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis semakin dibutuhkan.
Sistem Tanam Paksa |
Keadaan tersebut semakin diperkuat keberadaannya setelah adanya tuntutan perbaikan nasib bangsa, terutama dalam bidang pendidikan dan wawasan bangsa Indonesia dari golongan humanis, akhirnya mendorong pemerintah Kolonial untuk mengadakan pendidikan bagi kaum pribumi. Pelaksanaan politik pendidikan oleh pemerintah Kolonial pada awalnya bertujuan untuk menyiapkan individu yang bisa membaca dan menulis, sehingga nantinya bisa dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan atau perusahaanperusahaan industri. Tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis ini biasanya ditempatkan sebagai mandor yang mengawasi para pekerja atau buruh lainnya.
Penerimaan pegawai tentu diambil atas dasar keloyalan pada pemerintah, sehingga dapat memperkuat struktur pemerintahan kolonial di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan kolonial bagi bangsa Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari usaha pelaksanaan politik etis. Pendidikan ini mulai dirintis oleh Fransen van der Putte pada pertengahan abad ke-19 yang menekankan perlunya peningkatan pendidikan bumiputera, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis saja. Tenaga kerja ini nantinya disalurkan untuk membantu tugas-tugas pemerintah Kolonial, termasuk dalam mengelola perkebunan-perkebunan.
Dalam menunjang pelaksanaan pengajaran di tingkat rendahan, yakni pengajaran untuk bumiputera, maka pemerintah Kolonial membuka sekolah-sekolah guru (kweekschool) di berbagai daerah antara lain di Surakarta (1852), di Bukittinggi (1858), Tapanuli (1864), dan Bandung (1866). Penyelenggaraan pendidikan Kolonial di Indonesia dalam perkembangan selanjutnya difokuskan pula untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti sebagai sarana untuk mencapai kejayaan agama Protestan di Indonesia. Dengan kata lain, tujuan pendidikan bagi bidang keagamaan dilakukan pemerintah Kolonial untuk menyebarkan agama Protestan. Penyebaran agama Protestan ini dilakukan dengan memfungsikan kembali organisasi yang diberi nama Zending, yakni sebuah organisasi missionaris agama Protestan yang sebenarnya telah dirintis sejak VOC masuk ke Indonesia. Melalui organisasi inilah akhirnya agama Protestan menyebar dan berkembangnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Maluku, Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Jawa, Batavia, Halmahera, Buru, Irian, Poso, Tapanuli (Sumatra) dan Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan dan perkembangan agama Protestan ini ditandai dengan banyaknya fasilitas yang mendukung pelaksanaan agamanya, seperti sekolah-sekolah Zending yang banyak didirikan dibeberapa daerah, seperti di Jepara (1852), Pasundan (1858), Irian, Halmahera, dan Buru (1859), Jawa Tengah (1859), dan Batavia (1861).
Sementara itu, dalam bidang pemerintahan, khususnya dalam rangka penambahan pegawai pangreh praja, didirikanlah sekolah raja atau hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo, dan Tondano pada tahun 1878 dan pada tahun 1893. Hoofdenschool selanjutnya diganti menjadi OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah ini diajarkan mengenai hukum administrasi dan hukum negara.
Ciri pendidikan masa kolonial adalah dualistik, gradualistik, konkordansi, dan pengawasan yang ketat. Dengan sistem dualistik pengajaran kolonial bersifat sangat diskriminatif, ada untuk orang Barat/Eropa dan ada pula untuk pribumi. Pendidikan pribumi pun terbagi lagi, ada untuk golongan bangsawan dan ada pula untuk rakyat jelata. Dengan demikian, secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemerintah kolonial tidak sungguh-sungguh dalam upaya untuk meningkatkan kehidupan bangsa Indonesia. Diskriminasi dalam pendidikan Kolonial dilakukan dengan adanya pengadaan pendidikan yang berdasarkan pada kelas dan status sosial yang ada dalam masyarakat.
Dengan adanya sistem pendidikan yang diskriminatif tersebut, tidak menjadikan pendidikan tersebut sia-sia bagi bangsa Indonesia. Hal itu dapat dirasakan bahwa pada kemudian hari, pergerakan Indonesia banyak bermunculan tokoh-tokoh, seperti Soetomo, Cipto Mangunkusumo, Ali Sastroamidjojo, Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya yang telah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintahan Kolonial. Misalnya, Soekarno dan Moh. Hatta pada kemudian hari menjadi seorang tokoh pergerakan nasional dan berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Terlepas dari apakah tokoh-tokoh tersebut berasal dari sekolah rendahan, priyayi, atau sekolah Eropa, yang jelas melalui pendidikan mereka mendapat wawasan yang sangat berguna untuk menopang perjuangan menuju Indonesia merdeka.
Mengenai kedudukan sosial-budaya, kaum perempuan Indonesia pada masa Kolonial, ternyata sangat memprihatinkan. Mereka dianggap sebagai kaum yang lemah. Tidak mengherankan jika dalam status sosial masyarakat feodal, kedudukan perempuan berada di bawah kaum laki-laki. Rendahnya status sosial perempuan tersebut diperburuk oleh adat, khususnya yang menyangkut budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan lainnya adalah poligami yang dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan.Apalagi kalau poligami itu dipaksakan (kawin paksa) untuk dijadikan selir dan perkawinan muda. Poligami pada waktu itu tidak hanya dijadikan istri ke-2,3, atau 4, melainkan lebih dari itu. Ada informasi yang menyebutkan seorang pembesar pribumi memiliki istri lebih dari 100 orang.
Ketika Indonesia memasuki masa penjajahan, kedudukan perempuan Indonesia sampai akhir abad ke-19 belum membawa perubahan berarti. Bahkan kebijakan kolonial juga seolah membedakan antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Lihat dalam soal pendidikan. Perempuan cukup di rumah dengan mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus suami atau mengerjakan keterampilan praktis kerumahtanggaan.
Berdasarkan keadaan tersebut, ada beberapa tokoh perempuan yang berusaha mendobrak kearah kemajuan. Keharusan perempuan untuk keluar dari rumah mulai diperjuangkan, perlunya pendidikan, penentangan poligami juga mulai diperjuangkan. Usaha terobosan terhadap perjuangan kaum perempuan ternyata datangnya dari kaum perempuan juga. Mereka menginginkan persamaan hak dan kedudukan yang setara dengan pria. Tokoh yang menjadi pelopor atau emansipasi kaum perempuan adalah R.A. Kartini (1879-1904) yang cita-citanya termuat dalam Habis gelap terbitlah terang. Selain itu, di Jawa Barat ada tokoh perempuan yang bernama Raden Dewi Sartika (1884-1947) lewat sekolah Kaoetamaan Istri yang dikelolanya.
Labels:
sejarah
Thanks for reading KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA PADA MASA KOLONIAL. Please share...!
0 Komentar untuk "KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA PADA MASA KOLONIAL"