Thorndike
Menurut Thorndike
(1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan)
dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya,
menurut Thorndike perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret
(dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Meskipun Thorndike
tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur berbagai tingkah laku yang
nonkonkret (pengukuran adalah salah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut
aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah banyak memberikan inspirasi
kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut sebagai
“aliran koneksionis” (connectionism). Ada tiga hukum
belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3)
hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Watson
Berbeda dengan
Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan
respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”. Dengan kata
lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam
belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan
berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting.
Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan
apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya
dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa yang
bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pulalah psikologi dan ilmu
tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lainn seperti fisika atau
biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris.
Berdasarkan
uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak
memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa
semua hal itu penting. Dasar-dasar pendapat Watson adalah masalah objek
psikologi dan masalah metode.
Clark
Hull
Clark Hull (1943)
mengemukakan konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, tingkah laku seorang berfungsi untuk menjaga
kelangsungan hidup[1].
Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis menem pati posisi sentral.
Menurut Hull (1943, 1952), kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive),
seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin
bermacam-macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah Skinner
memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis,
meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.
Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti
yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus
tertentu dengan respon tertentu[2].
Selanjutnya Edwin berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dan respons
merupakan faktur kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan pemberian
stimulus yang sering agar hubungan menjadi langgeng. Selain itu, suatu respons
akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respons tersebut
berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Edwin juga mengemukakan bahwa
“hukuman” memegang peran penting dalam rose belajar. Menurutnya suatu hukuman
yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang.
Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam
teori-teori tingkah laku. Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide
tentang “penguatan” (reinforcement).
Skinner
Skinner (1968) yang datang kenudian
merupakan penganut paham neobehavioris yang mengalihkan dari laboratorium ke
praktik kelas. Skinner mempunyai pendapat lain lagi, yang ternyata mampu
mengalahkan pamor teoro-teori Hull dan Edwin. Hal ini mungkin karena kemampuan
Skinner dalam “menyederhanakan” kerumitan teori serta menjelaskan konsep-konsep
yang ada dalam teori tersebut. Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara
stimulus dan respons untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubunganya
dengan lingkungan), menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak
lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhan itu, sebab pada
dasarnya setiap stimilus yang diberikan berinteraksi satu dengan yang lainnya,
dan interaksi ini akhirnya memengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan
respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada
gilirannya akam memengaruhi tingkah laku siswa.
Oleh
karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan
pemahaman terhadap proses itu sendiri dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan
oleh respons tersebut. Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menbuat segala sesuatu nya menjadi bertambah runit, sebab “alat’ itu
akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, apabila dikatakan bahwa “seorang
siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi” akan menuntut perlu
dijelaskan “apa itu frustasi”. Penjelasan tentang frustasi ini besar
kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu seterusnya.
Dari
semua pendukung teori tingkah laku, mengkin teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran
seperti Teaching Machine, Mathetics,
atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons dan faktor
penguat (reinforcement), adalah
contoh-contoh program yang memanfaatkan teori Skinner.
Labels:
pendidikan,
Psikologi Pendidikan
Thanks for reading Tokoh-tokoh teori Behaviorisme. Please share...!
0 Komentar untuk "Tokoh-tokoh teori Behaviorisme"