1.
Pengertian
Perawi
Menurut Ilmu Hadis, Perawi atau Rawi adalah orang-orang
yang meriwayatkan hadis, salah satu cabang dari penelitian hadis. Baik yang
menyangkut sisi positif maupun sisi negatif perawi. Ilmu ini dikenal dengan
istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah
dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tegas atau sebaliknya.
Menurut Jamal T Suryanata dalam bukunya galuh
mendefinisikan seorang perawi adalah orang yang menyaksikan sesuatu yang
didengar dan dilihat. Sedangkan kemerdekaan, jenis kelamin laki-laki, melihat,
kedekatan, jumlah, konfli, akan berpengaruh dalam persaksian, bukan dalam
periwayatan.
2.
Syarat-syarat
seorang perawi
Secara umum ada dua syarat
pokok yang biasa diterima periwayatannya yaitu. Yaitu :
a.
Islam
Pada waktu periwayatan hadis,
maka seorang perawi harus muslim, menurut ijma pendapat orang kafir tidak sah.
Seamdainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaqub , maka
lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan
dengan firman Allah sebagai berikut:
Sekur
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. “
(Al-Hujurat: 6).
b.
Baligh
Yang dimaksud dengan baligh
ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walaupun penerimanya
sebelum baligh.
c.
Al-Adl (keadilan)
Al-Adl disini berarti keadilan,
dimana seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbebas dari
sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak muru’ah (martabat
diri). Adapun rawi dikatakan ‘adil orang yang dapat mengendalikan
sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya.[1]
Perawi yang adil tidak boleh
melakukan dosa besar maupun kecil. Para ulama hadis lebih jauh mengajukan
syarat-syarat khusus bagi seorang perawi yang adil. Ibnu Hajar Al-‘Asqalan
menyebar lima syarat. Yakni takwa kepada Allah, memiliki moralitas yang mulia (mura’ab),
bebeas dari dosa besar, tidak melakukan bidab, dan tidak fasiq.[2]
Namun, kualitas keadilan belum
menjamin keakuratan sebuah riwayat dan belum dapat menghindarkan seseorang
berbuat salah, karena kesalahan bisa terjadi tanpa disadari oleh si pembuat
kesalahan.
Perawi harus memiliki akurasi
hafalan yang tinggi (dhabith). Untuk memiliki tingkat akurasi perawi,
para ulama hadis menggunakan dua metode, yakni merujuk pada penilaian-penilaian
para ulama tentang perawi tertentu dan membandingkan riwayatnya dengan riwayat
lain. Metode-metode ini tercermin dalam pernyataan-pernyataan yang disandarkan
kepada ulama-ulama, Ayyub As-Sakhtiyani, seseorang Tabiin muda (68-131),
misalnya, dilaporkan telah berkata “untuk mengetahui pernyataan autentik
mengenai autentisitas hadis, seseorang perlu membandingkan kata-kata para ulama
dengan kata-kata ulama lain”. Secara teoritis, metode membandingkan riwayat
seorang perawi dengan riwayat perawi lain dapat ditemukan dalam buku pegangan
(handbook) tentang kritik hadis klasik, Muqaddimah, karya Ibnu
Ash-Shalah. Dia mengatakan:
“ Akurasi seorang perawi dapat
diketahui melalui cara membandingkan riwayatnya dengan riwayat orang terkenal
ke-tsiqab-annya. Apabila (1) riwayatnya sesuai dengan riwayat mereka,
meskipun hanya sebatas isinya atau (2) riwayatnya memang lazim sesuai dengan
riwayat mereka jarang berbeda, maka kita mengetahui bahwa perawi tersebut
mengontrol riwayatnya dank arena itu ia dhabith. Akan tetapi apabila
riwayatnya sering ditemukan berbeda dengan riwayat para perawi tsiqah, maka
ia bukan perawi yang dapat dipercaya dan riwayatnya tidak boleh digunakan
sebagai dasar hujjah. Wa Allah A’lam “
Dengan metode perbandingan ini,
para ahli hadis menduga tidak mudah dikecoh oleh isnad yang tampak
shahih. Al-hakim (w. 405/1014) dalam karyanya Ma’rifat ‘Ulum Al-Hadits mengutip
laporan yang diriwayatkan oleh orang-oramg terpercaya, tapi ia menunjukkan
bahwa hadis yang diriwayatkannya mengandung hal-hal yang tidak akurat. Ia
mengutip isnad malik dari Az-Zuhri dari ‘urwah dan ‘Aisyah, dan mengatakan
bahwa terdapat kesalahan menyangkut hadis Malik, meskipun diriwayatkan oleh
para imam hadis dan orang-orang terpercaya. Ia berpendapat bahwa hadis shahih
tidak hanya diketahui dari proses periwayatan semata tapi juga dengan memahami,
menghafal dan banyak mendengar.
Karena itu, seorang perawi
harus dhabith,kuat hafalannya, seksama dan teliti dalam hal penulisan.
Untuk hadis sahih mereka mensyaratkan perawinya memiliki derajat dhabith dan
ketelitian yang tinggi, sehingga hafalan dan kecermatannya tidak meragukan.
Banyak perawi yang dhabith,
kuat hafalannya, dan teliti, tetapi setelah tua ingatannya menjadi lemah dan
kacau hafalannya, maka mereka (para ahli hadis) menganggap lemah riwayatnya
disebabkan kondisi seperti itu, dan mereka berkata, “Hafalannya menjadi kacau
pada akhir hayatnya.” Selain itu, mereka juga menyusun riwayat-riwayat
daripadanya dengan diberi catatan yang bermacam-macam, misalnya: “ ini
diriwayatkan daripadanya sebelum ingatan (hafalannya) kacau, Karena itu riwayatnya
dapat diterima; dan ini diriwayatkan kepadanya setelah ingatannya lemah dan
hafalannya kacau, atau tidak diketahui kapan ia meriwayatkannya, maka
riwayatnya tertolak.”
-
Hendaklah mata rantai
(rangkaian) sanad itu bersambung sejak permulaan hingga akhir sanad.
Apabila ada mata rantai sanad
yang terputus baik pada awalnya, tengahnya, maupun akhirnya, maka riwayatnya
dinilai dha’if dan tertolak, meskipun para perawi itu sangat adil dan dhabith.
Sehingga sebagaian imam tabi’in berusaha dengan bersungguh-sungguh. Meski
dengan pengorbanan yang berat demi mencari ilmu tersebut, seperti Hasan
al-Bashri, Atha’, az-Zuhri, dan lainnya. Apabila diantara mereka (tabi’in)
berkata: “telah bersabda Rasulullah saw.” Tanpa menyebutkan nama sahabat yang
mendengar hadis tersebut dari Rasulullah saw, maka hadisnya tidak diterima,
karena boleh jadi yang bersangkutan mendengarnya dari tabi’I yang lain, dan
tabi’I tersebut mendengarnya dari tabi’I yang lain pula. Begitupun jika dalam
suatu sanad tidak diketahui yang menjadi perantaranya, maka hadis itu tidak
diterima. Dan hadis semacam ini mereka namakan dengan hadis mursal
meskipun sebagian fuqaha menerimanya dengan syarat-syarat tertentu.
Artinya, setiap perawi harus
menerima hadis dari orang yang diatasnya secara langsung, tanpa perantara, dan
tidak boleh sang perawi membuang perantara tersebut (bila ada perantara),
meskipun menurut anggapannya perantara (yang tidak disebutkan namanya) itu
dipercaya. Sebab, boleh jadi orang yang anggapannya dapat dipercaya itu
ternyata tercela menurut yang lain, bahkan tidak disebutkannya perantara itu
sendiri sudah menimbulkan keraguan. Khusunya mengenai kredebilitas orang yang
tidak disebutkan namanya itu.
Apabila keadaan sebagai perawi
yang dianggap adil dan dapat diterima riwayatnya secara umum diketahui beberapa
kali membuang (tidak menyebutkan) sebagaian perantara, atau dia menyebutkan
periwayatannya dengan menggunakan lafal yang mengandung beberapa kemungkinan,
misalnya dia mengatakan “an Fulan” (dari Fulan), maka para ahli hadis
menganggap periwayatannya itu tadlis (menyamarkan). Mereka tidak
menerima hadis itu. Kecuali, jika dia mengatakan: “haddatsani Fulan” (si Fulan
tidak menceritakan padaku), atau “akhbarani Fulan” (si Fulan telah memberitahukan
padaku), atau “sami’tu ……” (saya telah mendengar …) dan sebagainya,
seperto sikap mereka terhadap Muhammad bin Ishaq, pengarang kitab sirah yang
terkenal itu. Apabila Ibnu Ishaq ini mengatakan: “an Fulan” (dari
Fulan), maka hadisnya dinilai dha’if, sebab perkataan “an”( عن = dari) ini mengandung kemungkinan bahwa dia
menerima hadis tersebut melalui perantara atau mungkin juga secara langsung,
sedangkan kemungkinan-kemungkinan seperti itu menjadikan nilai hadis yang
diriwayatkannya dha’if (lemah).
[1]
Agus solihin dan Agus Suyadi.Ulumul Hadis.Bandung:pustaka
setia.2009.hlm.158
[2]
Kamaruddin Amin.Metode kritik hadis.Bandung.MMU.2009.hlm.24
Labels:
Ilmu Hadist,
islam,
mata kuliah,
pendidikan
Thanks for reading Pengertian dan Syarat-Syarat seorang Perawi. Please share...!
bukannya buku Jamal T Suryanata yang judulnya "GALUH" Itu adalah buku kumpulan cereta pendek , apa hubungannya dengan perawi hadits?????
BalasHapus